[google18e3bb53a38d909c.html]

Minggu, 22 Desember 2013

makalah sejarah sastra pada masa pergolakan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
   Sudah diketahui umum  bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa bersejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia karena dengan momentum itulah terbentuk atau berdiri Negara Kesatuan Repoblik Indonesia dengan tujuan mulia seperti tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945. Tentu saja pada waktu itu terjadi perubahan besar-besaran atau revolusi di berbagai bidang kehidupan, terutama politik, sosial, dan budaya. Sejumlah peristiwa penting pada tahun-tahun awal kemerdekaan dapat disimak dalam berbagai buku sejarah sehingga tidak tepatlah disajikan dalam makalah ini.
Penanaman angkatan ’45 dikaitkan dengan perjuangan revolusi fisik karena disadari eratnya hubungan antara sastra dengan nilai-nilai patriotisme. Sastra angkatan ini berderap seirama dengan liku-derunya perjuangan merebut kemerdekaan, mempertahankan dan melestarikannya.
Melihat situasinya yang penuh gerak cepat, karya sastra masa itu pun mengekspresikan revolusi tersebut. Ketika itu, tidak lagi ditemukan penggunaan bahasa dengan irama yang lamban, penggunaan kata-kata yang serba muluk mendayu-dayu. Tidak demikian. Revolusi berbahasa pun ikut berbicara. Kata-kata dimanfaatkan seefektif mungkin, singkat, padat, tepat, jelas, mementingkan isi, berangkat dari realitas. Para sastrawan angkatan masa itu banyak yang masih aktif mencipta pada masa-masa sesudahnya. Ada pula yang telah merintis kesastrawan mereka sejak zaman jepang.


B.     Rumusan Masalah
1.      Mengapa pada tahun 1945-1965 disebut sebagai masa pergolakan?
2.      Siapa saja sastrawan pada masa pergolakan??
3.      Apa cirri-ciri sastra angkatan 45?




BAB II
PEMBAHASAN
MASA PERGOLAKAN SASTRA INDONESIA TAHUN 1945-1956

A.    Surat Kepercayaan Gelanggang
Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan sikap seniman budayawan yang bergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka dengan motor Chairil Anwar,Asrul Sani,dan Rivai Apin. Kelompok ini kemudian disebut Angkatan 45 oleh Rosihan Anwar, tetapi tidak dengan sendirinya disepakati oleh banyak orang. Ada yang berkeberatan dengan alasan nama Angkatan 45 seolah-olah menumpang pada kehebatan para pejuang bersenjata yang heroik, sedangkan yang mendukung berpendapat bahwa berjuang di bidang kebudayaan pun tidak kalah pentingnya dari pada berjuang dengan senjata. Adapun teks Surat Kepercayaan Gelanggang selengkapnya sebagai berikut.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalu kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia, dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai using yang harus dihancurkan. Demikianlah, kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
Nama-nama lain yang ditawarkan berbagai pihak adalah Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan pembebasan, dan Generasi Gelanggang. Namun, nama yang terlanjur populer adalah Angkatan 45.
Tujuan perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka adalah mempertanggungjawabkan penjadian bangsa, mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan roh, serta memasukkan cita-cita dan dasar itu ke dalam segala kegiatan.
Boleh jadi benar pendapat Maman S. Mahayana dalam artikel “Di Balik Surat Kepercayaan Gelanggang” (Mahayana, 2005: 452-456) bahwa publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang itu dimaksudkan sebagai reaksi terhadap publikasi Mukadimah Lekra. Kemungkinan itu dapat dipahami berdasarkan perbedaan ideologi atau dasar pijakannya. Surat Kepercayaan Gelanggang berpijak pada humanisme universal atau kemanusiaan sejagat, sedangkan Lekra secara tegas hendak melaksanakan realisme sosialis yang bersumber pada komunisme.
Selayang pandang tampaklah gejala tersebut merupakan awal pergolakan budaya yang terjadi pada masyarakat sastra Indonesia karena berkembangnya dinamika politik di tengah kehidupan sosial ekonomi yang masih serba pahit dan semrawut akibat pendudukan Jepang dan berlanjut dengan perang mempertahankan kemerdekaan.

B.     Lembaga Kebudayaan Rakyat
Semangat membangun kebudayaan Indonesia yang tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ternyata terdesak oleh perubahan yang deras di bidang sosial, budaya, dan politik. Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada akhir tahun 1949 tidak dengan sendirinya menyelesaikan berbagai krisis kehidupan bangsa yang memang sedang bergolak. Penerapan demokrasi liberal dengan sistem kabinet parlementer ternyata tidak membuahkan hasil yang menggembirakan karena yang terjadi adalah krisis kabinet dengan pergantian perdana mentri yang jarak waktunya pendek-pendek sehingga tidak produktif di bidang pemerintahan.
Krisis itu kemudian diakhiri dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan prinsip kembali ke UUD 1945. Sementara itu, di bidang keamanan terjadi krisis kepercayaan sehingga pecah pembrontakan bersenjata di beberapa daerah.
Peristiwa penting yang besar pengaruhnya terhadap dinamika kehidupan sastra Indonesia adalah berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 di tangan tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), yaitu D.N. Aidit,Njoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta. Lekra sendiri baru pada tahun 1961 dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima” dan membela realisme sosialis atau seni untuk rakyat.
Sebagai organ PKI, tentu saja Lekra memperjuangkan komunisme yang berasal dari Marxisme-Leninisme yang telah lama berkembang di Rusia dan Cina dengan semboyan kemakmuran atau kesejahteraan rakyat berdasarkan penguasaan alat produksi di tangan kaum buruh dan petani sebagai kelompok besar yang tertindas oleh feodalisme dan kapitalisme. Dengan semboyan itulah komunisme hendak membela kepentingan kaum buruh dan petani atau kaum proletar yang tidak berdaya. Jika ideologi tersebut berkuasa maka sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya akan dengan sendirinya dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, target politiknya adalah menguasai pemerintahan agar kemudian dapat mewujudkan komunisme.
Dari tulisan sejumlah tokoh Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Bakri Siregar yang terdokumentasikan dalam Prahara Budaya (Moeljanto, 1995: 67-99), dapat dipahami sekilas percikan pemikiran mereka tentang realism sosialis, dan lebih rinci lagi dapat disimak dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (2003a).
Lekra didirikan lima tahun setelah pecah revolusi Agustus, disaat revolusi tertahan oleh rintangan hebat berupa persetujuan Konferensi Meja Bundar. Pada saat itu orang-orang kebudayaan yang semula tampak satu kepalan tangan dan tgak di pihak revolusi menjadi tergolong-golong. Mereka yang tidak setia kepada Republik lantas menyebrang, yang lemah menjadi ragu dan putus asa, sadangkan yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya berkayakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah sementara. Lekra didirikan untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut karena menyadari tugas revolusi bukan hanya milik kaum politisi, tetapi juga tugas pekerja kebudayaan. Jadi, Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi. Kehadirannya merupakan reaksi terhadap realitas politik kultural yang mencemaskan dan mengusahakan pengucapan kebudayaan, khususnya sastra, berdasarkan realitas yang sedang berkembang dan harus dipertanggungjawabkan secara politik.
Pembentukan semangat yang revolusioner itu dilaksanakan dengan perumusan slogan-slogan sebagai penguat kesadaran politik dan sekaligus pegangan taktis. Slogan “politik adalah panglima” diperkenalkan ke kalangan Lekra karena merupakan semboyan pegangan. Jadi, sebelum penggarapan seni harus ada pengkajian lebih dahulu dari jurusan politik.
Dari cuplikan itu tampaklah Lekra melaksanakan ideologi seni untuk rakyat. Akan tetapi, konotasi rakyat itu terbatas pada konsep ideologi mereka sendiri, bukan rakyat yang seluas-luasnya. Dengan demikian, jelaslah Lekra memang tidak terpisahkan dari PKI. Gerakan dan strategipun tidak berbeda dengan PKI yang menciptakan konflik dimana-mana sambil memobilisasi berbagai kelompok yang disebutnya sebagai kekuatan progresif revolusioner. Lekra menggalang kekuatan bersama serikat buruh, petani, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana, dan lain-lain secara demonstratif untuk melemahkan kekuatan lawan politiknya. Mereka pun secara demonstratif  menerbitkan buku-buku sastra seperti kumpulan sajak, cerpen, dan drama sehingga memikat perhatian banyak pengarang. Cara lain yang dilakukan Lekra adalah menghancurkan kredibilitas tokoh-tokoh yang berbeda pandangan atau berseberangan politiknya. Sementara itu, sejumlah pengarang kemudian dikenal sebagai orang-orang Lekra adalah A. Kohar Ibrahim, Agam Wispi, Amarzan Ismail Hamid, B.A. Simanjuntak, Kusni Sulang, Rijono Pratikto, S. Anantaguna, S. Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi, Zubir A.A, Hadi S, dan lain-lain.
Kini nasib mereka memang sudah terlupakan karena tulisan mereka pun sudah sulit dibaca masyarakat umum setelah penerbitan kalangan Lekra dinyatakan terlarang pada akhir tahun 1965 akibat tragedi politik 30 September 1965.

C.    Majalah Kisah
Majalah Kisah menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama kali mengutamakan cerita pendek (cerpen). Dewan redaksinya adalah Sudjati S.A., H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat bertahan hampir lima tahun, mulai Juli 1953 hingga Maret 1957.
Semangatnya adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat sehingga pengarang pun terdorong untuk mencipta karangan-karangan yang bermutu dengan penuh tanggung jawab. Kalaupun majalah itu hanya dapat bertahan lima tahun, penyebabnya antara lain menjamurnya bacaan hiburan yang cenderung cabul dengan akibat kisah tidak dapat bersaing secara komersial.



D.    Manifes Kebudayaan
Berbeda dengan Lekra, Manifes Kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan, melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Kemunculannya tidak terkait dengan partai politik atau ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra.
Prosesnya terkait dengan perkembangan politik yang berawal dari munculnya Konsepsi Presiden pada 21 Februari 1957 yang intinya menolak demokrasi liberal dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin, membentuk kabinet gotong royong,dan membentuk Dewan Nasional sebagai lembaga penasihat. Pada tanggal 4 Maret 1957 dirumuskan dukungan seniman terhadap Konsepsi Presiden dan pada 6 Maret 1957 sekitar 40 orang seniman Jakarta menghadap Presiden Soekarno untuk menyatakan dukungan itu. Dalam rombongan tersebut tercatat Ajib Rosidi, Gayus Slagian, Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, M.R. Dayoh, sedangkan pimpinannya adalah Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, dan Kotot Sukardi.
Pada 5 Juli 1959 diumumkan Dekrit Presiden yang menegaskan pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, kemudian berkembang menjadi Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 yang menetapkan Manipol sebagai Garis Besar Haluan Negara dengan lima masalah pokok, yaitu UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia yang kemudian popular dengan singkatan Manipol-Usdek.
Polemik yang kemudian berkembang menjadi teror budaya itu mendorong para seniman budayawan yang berbeda pandangan dengan Lekra merapatkan barisan dalam majalah sastra pimpinan H.B. Jassin yang mulai terbit pada Mei 1961. Sejumlah nama baru yang muncul dalam sastra adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman(Soek Hok Djin), D.A. Peransi, Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Salim Said, Bur Rasuanto, Ras Siragar, Gerson Pyk, dan lain-lain. Mereka mencoba bertahan pada konsep otonomi seni dalam kehidupan, walaupun harus berhadapan dengan ancaman dan agresivitas kelompok Lekra.
Puncak pertahanan konsep itu adalah deklarasi Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 yang ditandatangani oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok, Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Taufiq A.G. Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar, dan Boen S. Oemarjati. Berikut teks Manifes Kebudayaan.

MANIFES KEBUDAYAAN
Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengambangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Dalam waktu singkat Manifes Kebudayaan memperoleh sambutan hangat dan dukungan dari berbagai pihak yang merasa terancam dan terdesak oleh agresivitas kelompok Lekra. Akan tetapi, di sisi lain justru merupakan alasan yang kuat bagi Lekra untuk menghancurkan siapa pun yang berseberangan paham. Manifes Kebudayaan dituduh anti-Manipol dan kontra-revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Seniman dan pekerja kebudayaan yang tergabung dalam organisasi LKN, Lekra, Lesbumi, OKRA, dan Actor’s Studio Medan, telah mengadakan rapat pada 30 Januari 1964 di Balai Wartawan Medan untuk membicarakan apa yang disebuut “Manifes Kebudayaan”, dan mengganyang Malaysia. Dalam rapat itu mereka telah menyatakan sikap tegas untuk mengganyang apa yang disebut “ Manifes Kebudayaan” dan mengganyang Malaysia, karena bukan saja berwatak kontra revolusi, malah Manifes tersebut berbahaya untuk pertumbuhan kebudayaan revolusioner di tanah air Indonesia (Prahara Budaya, 1995: 299)
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PERHIMI) dalam pernyataannya telah menyambut dengan gembira larangan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno terhadap apa yang dinamakan Manikebu.
PERHIMI yakin, bahwa sosial kontrol yang telah dijalankan dengan sukses oleh organisasi-organisasi mahasiswa progresif senantiasa akan memperoleh penilaian yang positif dari masyarakat. (Prahara Budaya, 1995: 358)
Sementara itu, tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Jakarta pada Maret 1964. Namun, organisasi tersebut tidak sempat berkegiatan, karena pada 8 Mei 1964 Manifes Kebudayaan dilarang oleh Presiden Soekarno. Dapat dibayangkan bahwa pelarangan itu berasal dari tuntutan kelompok Lekra yang secara politis makin kuat kedudukannya.
Pelarangan Manifes Kebudayaan membuat para pendukungnya berantakan dan tertutuplah hampir segala kegiatannya, bahkan tidak sedikit yang dipecat dari jabatan dinasnya. H.B. Jassin terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Untunglah H.B. Jassin telah berhasil merintis pengkajian sastra Indonesia modern yang menghasilkan sarjana-sarjana sastra generasi pertama, seperti Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, S. Effendi, Fachruddin Ambo Enre, J.U. Nasution, dan Bahrum Rangkuti. Dari skripsi merekalah kemudian terbit buku-buku telaah dan kritik sastra Indonesia atas usaha penerbit Gunung Agung Jakarta, antara lain sebagai berikut:
1.      Asmara Hadi Penyair Api Nasionalisme oleh J.U. Nasution (1963),
2.      Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S. Omarjati (1967),
3.      Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis oleh M.S. Hutagalung (1963),
4.      Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Duapuluhan oleh Fachruddin Ambo Enre (1963),
5.      Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya oleh B. Rangkuti (1963),
6.      Roman Atheis Achdiat K. muhardja oleh Boen S. Oemarjati 91963),
7.      Sanusi Pane oleh J.U. Nasution (1963),
8.      Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek oleh J.U. Nasution (1963), dan
9.      Tanggapan Dunia Asrul Sani oleh M.S. Hutangalung (1967).
Ternyata keberhasilan itu tidak juga menyurutkan ambisi orang-orang Lekra untuk menekan siapa pun yang berlawanan atau berbeda dengan idiologinya. Keadaan yang menyedihkan itu mendorong H.B Jassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo Soekito meminta maaf dan mengharapkan petunjuk Presiden. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengubah keadaan, bahkan menjadi semakin buruk. Ada tuntutan kepada pemerintah agar penerbitan yang menyuarakan Manifes Kebudayaan seperti majalah Sastra dan majalah Indonesia dilarang terbit. Pada kenyataannya tidak lama kemudian, majalah Sastra berhenti dengan sendirinya karena situasi politik memang tidak menguntungkan. Di sisi lain makin maraklah hujatan dan serangan terhadap Manifes Kebudayaan yang oleh kelompok Lekra disebut dengan Menikebu, sebuah akronim yang membikin kecut para pendukungnya.
Pelarangan Manifes Kebbudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan Manifes, terlepas apa pun isi dan kapan penulisannya.
Adapun sejumlah buku yang terkenal pada masa itu tercatat:
1.      Balada Orang Tercinta (kumpulan sajak W.S. Rendra),
2.      Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen Ajip Rosidi),
3.      Domba-Domba Revolusi (drama B. Soelarto),
4.      Dua Dunia (kumpulan cerpen Nh. Dini),
5.      Hati yang Damai (novelet Nh. Dini),
6.      Hujan Kepagian (kumpulan cerpen Nugroho Notosusanto),
7.      Ia Sudah Bertualang (kumpulan cerpen Rendra),
8.      Iblis (drama Mohammad Diponegoro),
9.      Kejantanan di Sumbing (kumpulan cerpen Subagio Sastrowardoyo),
10.  Mereka Akan Bangkit (kumpulan cerpen Bur Rasuanto),
11.  Orang Buangan (roman Hariyadi S. Hartowardoyo),
12.  Pagar Kawat Berduri (roman Trisnoyuwono),
13.  Perjalanan ke Akherat (novelet Djamil Suherman),
14.  Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan cerpen Titie Said),
15.  Priangan si Jelita (kumpulan sajak, Ramadhan KH.),
16.  Pulang (novel Toha Mohtar),
17.  Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen A.A. Nafis0,
18.  Royan Revolusi (roman, Ramadhan K.H.),
19.  Tidak Menyerah (novel Motinggo Busye), dan
20.  Umi Kalsum (kumpulan cerpan Djamil Suherman).
Hal itu membuktikan semangat kepengarangan atau kesenimanan tidak selalu berkaitan dengan fasilitas atau situasi yang baik-baik saja. Titik balik terjadi setelah meletus peristiwa tragedi 30 September 1965.
Dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Arip, 1969: 236-238) tercatat 60 judul buku yang dilarang atau dibekukan, termasuk karya Pramoedya Ananta Toer di awal kemerdekaan atau sebelum menjadi tokoh Lekra,yaitu Perburuan, Subuh, Percikan Revolusi, Keluarga Garilya, Mereka yang Dilumpuhkan, dan Bukan Pasar Malam. Pelarangan buku itu dapat saja diperdebatkat panjang lebar oleh generasi sekarang, tetapi pada waktu itu merupakan langkah yang strategis bagi pemerintah yang harus bertindak tegas. Terlepas dari dampak yang timbul di bidang ilmu sastra, pelarangan buku-buku pengarang Lekra harus dipahami secara kontekstual. Yang jelas tragedi politik September 1965 telah mengakhiri maraknya slogan “politik adalah panglima” dan realisme sosialis.



E.     Ciri-Ciri Karya Sastra Angkatan 45
a) Terbuka
b) Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
c) Corak isi lebih realis, naturalis
d) Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
e) Penghematan kata dalam karya
f) Ekspresif
g) Sinisme dan sarkasme
h) Karangan prosa berkurang, puisi berkembang

F.     Salah Satu Contoh Karya Sastra Pada Masa Pergolakan Sastra Indonesia tahun 1945-1965
Puisi yang berjudul “AKU” karya Chairil Anwal
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi






BAB II
PENUTUP

A.    Kesimpulan
              Berdasarkan uraian tersebut, kami menyimpulkan bahwa pada tahun 1945-1965 disebut sebagai masa pergolakan karena pada masa itu ditandai dengan munculnya berbagai pandangan atau teori kritik sastra oleh sejumlah tokoh. Di pihak lain, pada masa itu pun berkembang pandangan kritik sastra yang berorientasi realisme sosialis di kalangan Lekra, sebuah organisasi yang didirikan oleh pemimpin PKI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama 20 tahun masa pergolakan itu telah berkembang empat aliran teori kritik sastra Indonesia.

B.     Saran
                                      Penjabaran makalah mengenai Masa Pergolakan Sastra Indonesia tahun 1945-               1965, diharapkan kita dapat mengenal atau mengetahui perkembangan sastra Indonesia, dan memiliki pemahaman yang memadai akan tokoh sastra Indonesia pada masa itu, serta memiliki keluasan wawasan dunia sastra.











DAFTAR PUSTAKA
K. S, Yudiono, 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

K. S, Yudiono, 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.
Mujiyanto Yant dan Amir Fuadi, 2007. Sejarah Sastra Indonesia. Surakarta: LPP UNS.




makalah profesionalisme guru




KATA PENGANTAR

            Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Profesionalisme Guru”.
            Dalam penyusunan makalah ini saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan tepat waktu. Dan tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah mempercayakan saya untuk menulis makalah ini.
Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun kepada pembaca umumnya.




                                                                                                            Bangko, 21 Juni 2013


    Agnesi Dianti





DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar……………………………………………………………………………… i
Daftar isi…………………………………………………………………….………………. i
BAB I      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang………...…………………………………...………………… 1
B.     Rumusan Masalah……………………………………………………………. 1
C.     Tujuan…………………………………………………………………..……. 1
BAB II    PEMBAHASAN: PROFESIONALISME PENDIDIKAN                             
A.       Hakikat Profesi Guru ………………...……………….…………………….. 2
B.        Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan..………………………………...….….. 3
C.        Kompetensi dan Tugas Guru……...…………..………………………….…. 4
D.       Peranan Guru dalam Pembelajaran Tatap Muka………..…………………... 9
BAB III   PENUTUP
A.    Kesimpulan……………………………………………………..………….. 16
B.     Saran………………………………………………………………….……. 16
Daftar Pustaka………………………………………………………………...……………. 17 






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Definisi yang kita kenal sehari-hari adalah bahwa guru merupakan orang yang harus digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki kharisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Mengutip pendapat Laurence D. Hazkew dan Jonathan C. Mc London dalam bukunya This is Teaching (hlm. 10): “Teaching is professional person who conducts classes.” (Guru adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menata dan mengelola kelas).
Jadi, guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik. Orang yang disebut guru adalah  orang yang memiliki kemampuan merancang program pembelajaran serta mampu menata dan mengelola kelas agar peserta didik dapat belajar dan pada akhirnya dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan profesionalisme guru?
2.      Apa saja tugas-tugas guru?
3.      Apa saja yang harus dilakukan seorang guru supaya bisa menjadi seseorang yang profesional?

C.    Tujuan
1.      Agar kita dapat memahami apa itu profesionalisme guru.
2.      Kita bisa mengetahiu tugas sebagai guru.
3.      Supaya kita bisa mengetahui syarat-syarat untuk menjadi guru yang professional.




BAB II
PEMBAHASAN
PROFESIONALISME GURU

A.    Hakikat Profesi Guru
Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut di luar bidang kependidikan.
Untuk seorang guru perlu mengetahui dan dapat menerapkan beberapa prinsip mengajar agar ia dapat melaksanakan tugasnya secara professional, yaitu sebagai berikut.
1.      Guru harus dapat membangkitkan perhatian peserta didik pada materi pelajaran  yang diberikan serta dapat menggunakan berbagai media dan sumber belajar yang bervariasi.
2.      Guru harus dapat membangkitkan minat peserta didik untuk aktif dalam berfikir serta mencari dan menemukan sendiri pengetahuan.
3.      Guru harus dapat membuat urutan (sequence) dalam pemberian pelajaran dan penyesuaiannya dengan usia dan tahapan tugas perkembangan peserta didik.
4.      Guru perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik (kegiatan apersepsi), agar peserta didik menjadi mudah dalam memahami pelajaran yang diterimanya.
5.      Sesuai dengan prinsip repetisi dalam proses pembelajaran, diharapkan guru dapat menjelaskan unit pelajaran secara brulang-ulang hingga tanggapan peserta didik menjadi jelas.
6.      Guru wajib memerhatikan dan memeikirkan kolerasi atau hubungan antara mata pelajaran dan/atau praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.
7.      Guru harus tetap menjaga konsentrasi belajar para peserta didik dengan cara memberikan kesempatan berupa pengalaman secara langsung, mengamati/meneliti, dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya.
8.      Guru harus mengembangkan sikap peserta didik dalam membina hubungan sosial, baik dalam kelas maupun luar kelas.
9.      Guru harus menyalidiki dan mendalami perbedaan peserta didik secara individual agar dapat melayani siswa sesuai dengan perbedaannya tersebut.

Guru dapat melaksanakan evaluasi yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang telah demikian pesat, guru tidak lagi hanya bertindak sebagai penyaji informasi, tetapi juga harus mampu bertindak sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mencari dan mengolah sendiri informasi. Dengan demikian, keahlian guru harus terus dikembangkan dan tidak hanya terbatas pada penguasaan prinsip mengajar seperti telah diuraikan.

B.     Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan)
Pada dasarnya perubahan perilaku yang dapat ditunjukkan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang guru. Atau dengan perkataan lain, guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta didik.
Untuk itulah guru harus dapat menjadi contoh (suri teladan) bagi peserta didik, karena pada dasarnya guru adalah representasi dari sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan dapat menjadi teladan, yang dapat digugu dan ditiru.
Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya. Untuk itu, apabila seseorang ingin menjadi guru yang profesional maka sudah seharusnya ia dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktis melalui jalur pendidikan berjenjang ataupun up grading dan/atau pelatihan yang bersifat in service training dangan rekan-rakan sejawatnya.
Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui peningkatan kemampuan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu adanya perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang diharapkan akan berpengaruh pada cara belajar siswa, di antaranya sebagai berikut.
1.      Memperkecil kebiasaan cara mengajar guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak menyajikan informasi (ceramah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik.
2.      Guru hendaknya berperan sebagai pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyediakan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk berpikir dan bekerja (melakukan).
3.      Mengubah dari sekadar metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru.
4.      Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri dan berkelompok, percaya diri, terbuka untuk saling member dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.

C.    Kompetensi Dan Tugas Guru
Profesionalisme seorang guru merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar (Kariman, 2002). Pada umumnya di sekolah-sekolah yang memiliki guru dengan kompetensi professional akan menerapkan “pembelajaran dengan melakukan” untuk menggantikan cara mengajar di mana guru hanya berbicara dan peserta didik hanya mendengarkan.
Dalam suasana seperti itu, peserta didik secara aktif dilibatkan dalam memecahkan masalah, mencari sumber informasi, data evaluasi, serta menyajikan dan mempertahankan pandangan dan hasil kerja mereka kepada teman sejawat dan yang lainnya. Sedangkan para guru dapat bekerja secara intensif dengan guru lainnya dalam merencanakan pembelajaran, baik individual maupun tim, membuat keputusan tentang desai sekolah, kolaborasi tentang pengembangan kurikulum, dan partisipasi dalam proses penilaian. Berikut akan diuraikan tentang kompetensi profesional yang harus menjadi andalan guru dalam melaksanakan tugasnya.


1.         Kompetensi Profesional
Kompetensi professional seorang guru adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, terdiri dari 3 (tiga), yaitu kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keberhasilan guru dalam menjalankan pofesinya sangat ditentukan oleh ketiganya dengan penekanan pada kemampuan mengajar. Selanjutnya, akan diuraikan masing-masing pembahasan tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu sebagai berikut.
a.       Kompetensi Pribadi
Berdasarkan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk Tuhan. Ia wajib menguasai pengetahuan yang akan diajarkannya kepada peserta didik secara benar dan bertanggung jawab. Ia harus memiliki pengetahuan penunjang tentang kondisi fisiologis, psikologis, dan pedagogis dari para peserta didik yang dihadapinya.
Beberapa kompetensi pribadi yang semestinya ada pada guru, yaitu memiliki pengetahuan yang dalam tentang materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, mempunyai pengetahuan tentang perkembangan peserta didik serta kemampuan untuk memperlakukan mereka secara individual.
b.      Kompetensi Sosial
Berdasarkan kodrat manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk etis. Ia harus dapat memperlakukan peserta didiknya secara wajar dan bertujuan agar tercapai optimalisasi  potensi pada diri masing-masing peserta didik. Ia harus memahami dan menerapkan prinsip belajar humanistik yang beranggapan bahwa keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan yang ada pada diri pesserta didik tersebut. Instruktur hanya bertugas melayani mereka sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Kompetensi sosial yang dimiliki seorang guru adalah menyangkut kemampuan berkomunikasi dengan peserta didik dan lingkungan mereka (seperti orang tua, tetangga, dan sesame teman).
c.       Kompetensi Profesional Mengajar
Berdasarkan peran guru sebagai pengelola proses pembelajaran, harus memiliki kemampuan:
1.      Merencanakan sistem pembelajaran
-          Merumuskan tujuan.
-          Memilih prioritas materi yang akan diajarkan.
-          Memilih dan menggunakan metode.
-          Memilih dan menggunakan sumber belajar yang ada.
-          Memilih dan menggunakan media pembelajaran.
2.      Melaksanakan sistem pembelajaran
-          Memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang tepat.
-          Menyajikan urutan pembelajaran secara tepat.
3.      Mengevaluasi sistem pembelajaran
-          Memilih dan menyusun jenis evaluasi.
-          Melaksanakan kegiatan evaluasi sepanjang proses.
-          Mengadministrasikan hasil evaluasi.
4.      Mengembangkan sistem pembelajaran
-          Mengoptimalisasi potensi peserta didik.
-          Meningkatkan wawasan kemampuan diri sendiri.
-          Mengembangkan program pembelajaran lebih lanjut.
Sedangkan kompetensi guru yang telah dibakukan oleh Dirjen Dikdasmen Depdiknas (1999) sebagai berikut.
1.      Mengembangkan kepribadian.
2.      Menguasai landasan kependidikan.
3.      Menguasai bahan pelajaran.
4.      Menyusun program pengajaran.
5.      Melaksanakan program pengajaran.
6.      Menilai hasil dalam PBM yang telah dilaksanakan.
7.      Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
8.      Menyelenggarakan program bimbingan.
9.      Berintaraksi dengan sejawat dan masyarakat.
10.  Menyelenggarakan administrasi sekolah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi guru profesional yang memiliki akuntabilitas dalam melaksanakan ketiga kompetensi tersebut, dibutuhkan  tekad dan keinginan yang kuat dalam diri setiap calon guru atau guru untuk mewujudkannya.


2.      Seperangkat tugas guru
Pada dasarnya terdapat seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh guru berhubungan dengan profesinya sebagai pengajar. Tugas guru ini sangat berkaitan dengan kompetensi profesionalnya. Secara garis besar, tugas guru dapat ditinjau dari tugas-tugas yang langsung berhubungan dengan tugas utamanya, yaitu menjadi pengelola dalam proses pembelajaran dan tugas-tugas lain yang tidak secara langsung berhubungan dengan proses pembelajaran, tetapi akan menunjang keberhasilannya menjadi guru yang andal dan dapat diteladani.
Menurut Uzer (1990) terdapat tiga jenis tugas guru, yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan. Uraian dari Uzer dapat dijabarkan sebagai berikut.
Tugas guru sebagai suatu profesi meliputi mendidik dalam arti meneruskan dan mengembangkan nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan iptek, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan pada peserta didik. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru di sekolah harus dapat menjadi orang tua kedua, dapat memahami peserta didik dengan tugas perkembangannya mulai dari sebagai makhluk bermain (homoludens), sebagai makhluk remaja/berkarya (homopither), dan sebagai makhluk berpikir/dewasa (homosapiens). Membantu peserta didik dalam mentransformasikan dirinya sebagai upaya pembentukan sikap dan membantu peserta dalam mengidentifikasikan diri peserta itu sendiri.
Masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat di lingkungannya karena dari seorang guru diharapkan masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Ini berarti guru berkewajiban mencerdaskan bangsa Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila. Sedangkan secara khusus tugas guru dalam proses pembelajaran tatap muka sebagai berikut.
1)      Tugas pengajar sebagai pengelola pembelajaran
a.       Tugas manajerial
Menyangkut fungsi administrasi (memimpin kelas), baik internal maupun eksternal.
-          Berhubungan dengan peserta didik.
-          Alat perlengkapan kelas (material).
-          Tindakan-tindakan profesional.

b.      Tugas edukasional
Menyangkut fungsi mendidik, bersifat:
-          Motivasional
-          Pendisiplinan
-          Sanksi sosial (tindakan hukuman)
c.       Tugas intruksional
Menyangkut fungsi mengajar, bersifat:
-          Penyampaian materi
-          Pemberian tugas-tugas pada peserta didik
-          Mengawasi dan memeriksa tugas
2)      Tugas pengajar sebagai pelaksana (executive teacher)
Secara umum tugas guru sebagai pengelola pembelajaran adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas yang kondusif bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar agar mencapai hasil yang baik. Lingkungan belajar yang kondusif adalah lingkungan yang bersifat menantang dan merangsang peserta untuk mau belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai tujuan.
Sedangkan secara khusus, tugas guru sebagai pengelola proses pembelajaran sebagai berikut.
a.       Menilai kemajuan program pembelajaran.
b.      Mampu menyediakan kondisi yang memungkinkan peserta didik belajar sambil bekerja (learning by doing).
c.       Mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menggunakan alat-alat belajar.
d.      Mengkoordinasi, mengarahkan, dan memaksimalkan kegiatan kelas.
e.       Mengomunikasikan semua informasi dari da/atau ke peserta didik.
f.       Membuat keputusan instruksional dalam situasi tertentu.
g.      Bertindak sebagai manusia sumber.
h.      Membimbing pengalaman peserta didik sehari-hari.
i.        Mengarahkan peserta didik agar mandiri (member kesempatan pada peserta didik untuk sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungannya pada guru).
j.        Mampu memimpin kegiatan belajar yang efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal.

D.    Peranan Guru dalam Pembelajaran Tatap Muka
Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka yang dikemukakan oleh Moon (1989), yaitu sebagai berikut.
1.      Guru sebagai perancang pembelajaran (designer of instruction)
Pihak Depertemen Pendidikan Nasional telah memprogram bahan pembelajaran yang harus diberikan guru kepada peserta didik pada suatu waktu tertentu. Di sini guru dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan PBM tersebut dengan memerhatikan barbagai komponen dalam sistem pembelajaran yang meliputi:
a.       Membuat dan merumuskan TIK.
b.      Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasilitas, perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa, komprehensif, sistematis, dan fungsional efektif.
c.       Merancang metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa.
d.      Menyediakan sumber belajar, dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator dalam pengajaran.
e.       Media, dalam hal ini guru berperan sebagai mediator dengan memerhatikan relevansi (seperti juga materi), efektif dan efisien, kesesuaian dengan metode, serta pertimbangan praktis.
Jadi, dengan waktu yang sedikit atau terbatas tersebut, guru dapat merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien. Untuk itu, guru harus memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang prinsip-prinsip belajar, sebagai landasan dari perencanaan.

2.      Guru sebagai pengelola pembelajaran (manager of instruction)
Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan menggunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
Selain itu, guru juga berperan dalam membimbing pengalaman sehari-hari ke arah pengenalan tingkah laku dan kepribadiannya sendiri. Salah satu cirri manajemen kelas yang baik adalah tersedianya kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungannya pada guru hingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri.
Sebagai manajer, guru hendaknya mampu mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar mengajar dari teori perkembangan hingga memungkikan untuk menciptakan situasi belajar yang baik mengendalikan pelaksanaan pengajaran dan pencapaian tujuan.

3.      Guru sebagai pengarah pembelajaran
Hendaknya guru senantiasa berusaha menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar. Dalam hubungan ini, guru mempunyai fungsi sebagai motivator dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Empat hal yang dapat dikerjakan guru dalam memberikan motivasi adalah sebagai berikut.
-          Membangkitkan dorongan siswa untuk belajar.
-          Menjelaskan secara konkret, apa yang dapat dilakukan pada akhir pengajaran.
-          Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai hingga dapat merangsang pencapaian  prestasi yang lebih baik dikemudian hari.
-          Membentuk kebiasaan belajar yang baik.
Pendekatan yang dipergunakan oleh guru dalam hal ini adalah pendekatan pribadi,di mana guru dapat mengenal dan memahami siswa secara lebih mendalam hingga dapat membantu dalam keseluruhan PBM, atau dengan kata lain, guru berfungsi sebagai pembimbing. Sebagai pembimbing dalam PBM, guru diharapkan mampu untuk:
-          Mengenal dan memahami setiap peserta didik, baik secara individu maupun secara kelompok.
-          Membantu tiap peserta didik dalam mengatasi masalah pribadi yang dihadapinya.
-          Memberikan kesempatan yang memadai agar tiap peserta didik dapat belajar sesuai dengan kemampuan pribadinya.
-          Mengevaluasi keberhasilan Rancangan Acara Pembelajar dan langkah kegiatan yang telah dilakukan.
Untuk itu, guru hendaknya memahami prinsip-prinsip bimbingan dan menerapkannya dalam proses pembelajaran.

4.      Guru sebagai evaluator (evaluator of student learning)
Tujuan utama penilaian adalah untuk melihat tingkat keberhasilan, efektivitas, dan efisiensi dalam proses pembelajaran. Selain itu, untuk mengetahui kedudukan peserta dalam kelas satu kelompoknya. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar peserta didik, guru hendaknya secara terus-menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai peserta didik dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya. Dengan demikian, proses pembelajaran akan terus-menerus ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal.

5.      Guru sebagai konselor
Sesuai dengan peran guru sebagai konselor adalah ia diharapkan akan dapat merespons segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses pembelajaran. Oleh  karena itu, guru harus dipersiapkan agar:
-          Dapat menolong peserta didik memecahkan masalah-masalah yang timbul antara peserta didik dengan orang tuanya.
-          Bisa memperoleh keahlian dalam membina hubungan yang manusiawi dan dapat mempersiapkan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan bermacam-macam manusia.
Pada akhirnya, guru akan memerlukan pengertian tentang dirinya sendiri, baik itu motivasi, harapan, prasangka, ataupun keinginannya. Semua hal itu akan memberikan pengaruh pada kemampuan guru dalam berhubungan dengan orang lain, terutama siswa.

6.      Guru sebagai pelaksana kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat pengalaman belajar yang akan didapat oleh peserta didik selama ia mengikuti suatu proses pendidikan. Secara resmi kurikulum sebenarnya merupakan seseatu yang diidealisasikan atau dicita-citakan (Ali, 1985:30). Keberhasilan dari suatu kurikulum yang ingin dicapai sangat bergantung pada faktor kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru. Artinya, guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam upaya mewujudkan segala sesuatu yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.
Untuk pernyataan tersebut terdapat beberapa asalsan, yaitu:
a.       Guru adalah pelaksana langsung dari kurikulum di suatu kelas.
b.      Gurulah yang bertugas mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran, karena ia melakukan tugas sebagai berikut.
1)      Menganalisis tujuan berdasarkan apa  yang tertuang dalam kurikulum resmi.
2)      Mengembangkan alat evaluasi berdasarkan tujuan.
3)      Merumuskan bahan yang sesuai dengan isi kurikulum.
4)      Merumuskan bentuk kegiatan belajar yang dapat memberikan pengalaman belajar bagi peserta didik dalam melaksanakan apa yang  telah diprogramkan.
c.       Gurulah yang langsung menghadapi berbagai permasalahan yang muncul sehubungan dengan pelaksanaan kurikulum di kelas.
d.      Tugas gurulah yang mencarikan upaya memecahkan segala permasalahan yang dihadapi dan melaksanakan upaya itu.
Sehubungan dengan pembinaan dan pengembangan kurikulum, permasalahan yang sering kali muncul dan harus dihadapi oleh guru yaitu:
a.       Permasalahan yang berhubungan dengan tujuan dan hasil-hasil yang diharapkan dari suatu lembaga pendidikan.
b.      Permasalahan yang berhubungan dengan isi/materi/bahan pelajaran dan organisasi atau cara pelaksanaan kurikulum.
Sedangkan peranan guru dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum secara aktif dapat dijabarkan sebagai berikut.
a.       Dalam perencanaan kurikulum
Kurikulum di tingkat nasional dirancang dan dirumuskan oleh para pakar dari berbagai bidang disiplin ilmu yang terkait, sedangkan guru-guru yang sudah berpengalaman biasanya terlibat untuk memberikan masukan berupa saran, ide, dan/atau tanggapan terhadap kemungkinan pelaksanaannya di sekolah.



b.      Dalam pelaksanaan di lapangan
Para guru bertanggung jawab sepenuhnya dalam pelaksanaan kurikulum, baik secara keseluruhan kurikulum maupun tugas sebagai  penyampaian mata pelajaran sesuai dengan GBPP yang telah dirancang dalam suatu kurikulum.
c.       Dalam proses penilaian
Selama pelaksanaan kurikulum akan dinilai seberapa jauh tingkat ketercapaiannya. Biasanya guru diminta saran atau pendapat maupun menilai kurikulum yang sedang berjalan guna melihat kebaikan dan kelemahan yang ada, dilihat dari berbagai aspek, seperti aspek filosofis, sosiologis, dan metodologis.
d.      Pengadministrasian
Guru harus menguasai tujuan kurikulum, isi program (pokok bahasan/subpokok bahasan) yang harus diberikan kepada peserta didik. Misalnya pada kelas dan semester berapa suatu pokok bahasan diberikan dan bagaimana memberikannya. Biasanya dengan menyusun suatu bagan analisis tugas pembelajaran dan rencana pembelajaran.
e.       Perubahan kurikulum
Guru sebagai pelaku kurikulum mau tidak mau tentu akan selalu terlibat dalam pembaruan yang sedang dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencari format kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman. Masukan sebagai input berupa saran, ide, dan kritik berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan oleh guru sangat besar artinya bagi perubahan dan pengembangan suatu kurikulum.
Sebagai kesimpulan dapat dijelaskan bahwa seorang guru haruslah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum, selain tugas utamanya sebagai pembina kurikulum.

7.      Guru dalam pembelajaran yang menerapkan kurikulum berbasisi lingkungan
Peranan guru dalam kurikulum berbasis lingkungan tidak kalah aktifnya dengan peserta didik. Sehubungan dengan tugas guru untuk mengaktifkan peserta didik dalam belajar maka seorang guru dituntut untuk memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang memadai. Pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dituntut dari guru dalam proses pembelajaran yang memiliki kadar pembelajaran tinggi didasarkan atas posisi dan peranan guru, tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar yang professional.
1.      Posisi dan peran guru
Posisi dan peran guru yang dikaitkan dengan konsep pendidikan berbasis lingkungan dalam proses pembelajaran, di mana guru harus menempatkan diri sebagai:
a.       Pemimpin belajar.
b.      Fasilitator belajar.
c.       Moderator belajar.
d.      Motivator belajar.
e.       Evaluator belajar.

8.      Tugas dan tanggung jawab guru
Proses pembelajaran yang bernapaskan lingkungan lebih menekankan pada pentingnya proses belajar peserta daripada hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. Karena itu, pengendalian proses pembelajaran peserta didik merupakan tugas dan tanggung jawa guru. Ada beberapa kemampuan yang dituntut dari guru agar dapat menumbuhkan minat dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai berikut.
a.       Mampu menjabarkan bahan pembelajaran ke dalam berbagai bentuk cara penyampaian.
b.      Mampu merumuskan tujuan pembelajaran kognitif tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi.
c.       Menguasai berbagai cara belajar yang efektif sesuai dengan tipe dan gaya belajar yang dimiliki oleh peserta didik secara individual.
d.      Memiliki sikap yang positif terhadap tugas profesinya, mata pelajaran yang dibinanya sehingga selalu berupaya untuk meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru.
e.       Terampil dalam membuat alat peraga pembelajaran sederhana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan mata pelajaran yang dibinanya serta penggunaannya dalam proses pembelajaran.
f.       Terampil dalam menggunakan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat menumbuhkan minat sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal.
g.      Terampil dalam melakukan interaksi dengan para peserta didik, dengan mempertimbangkan tujuan dan materi pelajaran, kondisi peserta didik, suasana belajar, jumlah peserta didik, waktu yang tersedia, dan faktor yang berkenaan dengan diri guru itu sendiri.
h.      Pemahaman sifat dan karakteristik peserta didik, terutama kemampuan belajarnya, motivasi untuk belajar, dan hasil belajar yang telah dicapai.
i.        Terampil dalam menggunakan sumber –sumber belajar yang ada sebagai bahan ataupun media belajar bagi peserta didik dalam proses pembelajaran.
j.        Terampil dalam mengelola kelas atau memimpin peserta didik dalam belajar sehingga suasana belajar menjadi menarik dan menyenangkan. (Sudjana dan Arifin, 1989: 31-39)

9.      Syarat guru yang baik dan berhasil
a.       guru harus berijazah,
b.      guru harus sehat jasmani dan rohani,
c.       guru harus bertakwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik,
d.      guru haruslah orang yang bertanggung jawab,
e.       guru di Indonesia harus berjiwa nasional.
Syarat-syarat di atas adalah syarat umum yang berhubungan dengan jabatan sebagai seorang guru. Selain itu, ada pula syarat lain yang sangat erat hubungannya dengan tugas guru di sekolah, sebagai berikut.
a.       Harus asli dan dapat dipercaya.
b.      Sabar, rela berkorban, dan menyayangi peserta didiknya.
c.       Memiliki kewibawaan dan tanggung jawab akademis.
d.      Bersikap baik pada rekan guru, staf di sekolah, dan masyarakat.
e.       Harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan menguasai benar mata pelajaran yang dibinanya.
f.       Harus selalu introspeksi diri dan siap menerima kritik dari siapa pun.
g.      Harus berupaya meningkatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa guru merupakan suatu profesi, yang berarti bukan jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Seorang guru harus profesional agar dapat mewujudkan sekolah berbasis pengetahuan, yaitu pemahaman tentang pembelajaran, kurikulum, dan perkembangan manusia termasuk gaya belajar. Guru juga merupakan contoh atau suri teladan bagi peserta didik. Dan keberhasilan seorang guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pengajar sangat tergantung pada diri pribadi masing-masing guru dalam lingkungan tempat ia bertugas.


B.     Saran
Penjabaran makalah tentang Profesionalisme Guru ini, diharapkan kita dapat menjadi seorang guru yang professional dan menjadi contoh atau suri teladan yang baik bagi peserta didik.













DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, 2008, Profesi Pendidikan, Jakarta: PT bumi aksara.