[google18e3bb53a38d909c.html]

Minggu, 22 Desember 2013

makalah sejarah sastra pada masa pergolakan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
   Sudah diketahui umum  bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa bersejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia karena dengan momentum itulah terbentuk atau berdiri Negara Kesatuan Repoblik Indonesia dengan tujuan mulia seperti tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945. Tentu saja pada waktu itu terjadi perubahan besar-besaran atau revolusi di berbagai bidang kehidupan, terutama politik, sosial, dan budaya. Sejumlah peristiwa penting pada tahun-tahun awal kemerdekaan dapat disimak dalam berbagai buku sejarah sehingga tidak tepatlah disajikan dalam makalah ini.
Penanaman angkatan ’45 dikaitkan dengan perjuangan revolusi fisik karena disadari eratnya hubungan antara sastra dengan nilai-nilai patriotisme. Sastra angkatan ini berderap seirama dengan liku-derunya perjuangan merebut kemerdekaan, mempertahankan dan melestarikannya.
Melihat situasinya yang penuh gerak cepat, karya sastra masa itu pun mengekspresikan revolusi tersebut. Ketika itu, tidak lagi ditemukan penggunaan bahasa dengan irama yang lamban, penggunaan kata-kata yang serba muluk mendayu-dayu. Tidak demikian. Revolusi berbahasa pun ikut berbicara. Kata-kata dimanfaatkan seefektif mungkin, singkat, padat, tepat, jelas, mementingkan isi, berangkat dari realitas. Para sastrawan angkatan masa itu banyak yang masih aktif mencipta pada masa-masa sesudahnya. Ada pula yang telah merintis kesastrawan mereka sejak zaman jepang.


B.     Rumusan Masalah
1.      Mengapa pada tahun 1945-1965 disebut sebagai masa pergolakan?
2.      Siapa saja sastrawan pada masa pergolakan??
3.      Apa cirri-ciri sastra angkatan 45?




BAB II
PEMBAHASAN
MASA PERGOLAKAN SASTRA INDONESIA TAHUN 1945-1956

A.    Surat Kepercayaan Gelanggang
Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan sikap seniman budayawan yang bergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka dengan motor Chairil Anwar,Asrul Sani,dan Rivai Apin. Kelompok ini kemudian disebut Angkatan 45 oleh Rosihan Anwar, tetapi tidak dengan sendirinya disepakati oleh banyak orang. Ada yang berkeberatan dengan alasan nama Angkatan 45 seolah-olah menumpang pada kehebatan para pejuang bersenjata yang heroik, sedangkan yang mendukung berpendapat bahwa berjuang di bidang kebudayaan pun tidak kalah pentingnya dari pada berjuang dengan senjata. Adapun teks Surat Kepercayaan Gelanggang selengkapnya sebagai berikut.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami adalah waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati kami. Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalu kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia, dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai using yang harus dihancurkan. Demikianlah, kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
Nama-nama lain yang ditawarkan berbagai pihak adalah Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan pembebasan, dan Generasi Gelanggang. Namun, nama yang terlanjur populer adalah Angkatan 45.
Tujuan perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka adalah mempertanggungjawabkan penjadian bangsa, mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan roh, serta memasukkan cita-cita dan dasar itu ke dalam segala kegiatan.
Boleh jadi benar pendapat Maman S. Mahayana dalam artikel “Di Balik Surat Kepercayaan Gelanggang” (Mahayana, 2005: 452-456) bahwa publikasi Surat Kepercayaan Gelanggang itu dimaksudkan sebagai reaksi terhadap publikasi Mukadimah Lekra. Kemungkinan itu dapat dipahami berdasarkan perbedaan ideologi atau dasar pijakannya. Surat Kepercayaan Gelanggang berpijak pada humanisme universal atau kemanusiaan sejagat, sedangkan Lekra secara tegas hendak melaksanakan realisme sosialis yang bersumber pada komunisme.
Selayang pandang tampaklah gejala tersebut merupakan awal pergolakan budaya yang terjadi pada masyarakat sastra Indonesia karena berkembangnya dinamika politik di tengah kehidupan sosial ekonomi yang masih serba pahit dan semrawut akibat pendudukan Jepang dan berlanjut dengan perang mempertahankan kemerdekaan.

B.     Lembaga Kebudayaan Rakyat
Semangat membangun kebudayaan Indonesia yang tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang ternyata terdesak oleh perubahan yang deras di bidang sosial, budaya, dan politik. Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada akhir tahun 1949 tidak dengan sendirinya menyelesaikan berbagai krisis kehidupan bangsa yang memang sedang bergolak. Penerapan demokrasi liberal dengan sistem kabinet parlementer ternyata tidak membuahkan hasil yang menggembirakan karena yang terjadi adalah krisis kabinet dengan pergantian perdana mentri yang jarak waktunya pendek-pendek sehingga tidak produktif di bidang pemerintahan.
Krisis itu kemudian diakhiri dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan prinsip kembali ke UUD 1945. Sementara itu, di bidang keamanan terjadi krisis kepercayaan sehingga pecah pembrontakan bersenjata di beberapa daerah.
Peristiwa penting yang besar pengaruhnya terhadap dinamika kehidupan sastra Indonesia adalah berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 di tangan tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), yaitu D.N. Aidit,Njoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta. Lekra sendiri baru pada tahun 1961 dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima” dan membela realisme sosialis atau seni untuk rakyat.
Sebagai organ PKI, tentu saja Lekra memperjuangkan komunisme yang berasal dari Marxisme-Leninisme yang telah lama berkembang di Rusia dan Cina dengan semboyan kemakmuran atau kesejahteraan rakyat berdasarkan penguasaan alat produksi di tangan kaum buruh dan petani sebagai kelompok besar yang tertindas oleh feodalisme dan kapitalisme. Dengan semboyan itulah komunisme hendak membela kepentingan kaum buruh dan petani atau kaum proletar yang tidak berdaya. Jika ideologi tersebut berkuasa maka sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya akan dengan sendirinya dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, target politiknya adalah menguasai pemerintahan agar kemudian dapat mewujudkan komunisme.
Dari tulisan sejumlah tokoh Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Bakri Siregar yang terdokumentasikan dalam Prahara Budaya (Moeljanto, 1995: 67-99), dapat dipahami sekilas percikan pemikiran mereka tentang realism sosialis, dan lebih rinci lagi dapat disimak dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (2003a).
Lekra didirikan lima tahun setelah pecah revolusi Agustus, disaat revolusi tertahan oleh rintangan hebat berupa persetujuan Konferensi Meja Bundar. Pada saat itu orang-orang kebudayaan yang semula tampak satu kepalan tangan dan tgak di pihak revolusi menjadi tergolong-golong. Mereka yang tidak setia kepada Republik lantas menyebrang, yang lemah menjadi ragu dan putus asa, sadangkan yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya berkayakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah sementara. Lekra didirikan untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut karena menyadari tugas revolusi bukan hanya milik kaum politisi, tetapi juga tugas pekerja kebudayaan. Jadi, Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi. Kehadirannya merupakan reaksi terhadap realitas politik kultural yang mencemaskan dan mengusahakan pengucapan kebudayaan, khususnya sastra, berdasarkan realitas yang sedang berkembang dan harus dipertanggungjawabkan secara politik.
Pembentukan semangat yang revolusioner itu dilaksanakan dengan perumusan slogan-slogan sebagai penguat kesadaran politik dan sekaligus pegangan taktis. Slogan “politik adalah panglima” diperkenalkan ke kalangan Lekra karena merupakan semboyan pegangan. Jadi, sebelum penggarapan seni harus ada pengkajian lebih dahulu dari jurusan politik.
Dari cuplikan itu tampaklah Lekra melaksanakan ideologi seni untuk rakyat. Akan tetapi, konotasi rakyat itu terbatas pada konsep ideologi mereka sendiri, bukan rakyat yang seluas-luasnya. Dengan demikian, jelaslah Lekra memang tidak terpisahkan dari PKI. Gerakan dan strategipun tidak berbeda dengan PKI yang menciptakan konflik dimana-mana sambil memobilisasi berbagai kelompok yang disebutnya sebagai kekuatan progresif revolusioner. Lekra menggalang kekuatan bersama serikat buruh, petani, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana, dan lain-lain secara demonstratif untuk melemahkan kekuatan lawan politiknya. Mereka pun secara demonstratif  menerbitkan buku-buku sastra seperti kumpulan sajak, cerpen, dan drama sehingga memikat perhatian banyak pengarang. Cara lain yang dilakukan Lekra adalah menghancurkan kredibilitas tokoh-tokoh yang berbeda pandangan atau berseberangan politiknya. Sementara itu, sejumlah pengarang kemudian dikenal sebagai orang-orang Lekra adalah A. Kohar Ibrahim, Agam Wispi, Amarzan Ismail Hamid, B.A. Simanjuntak, Kusni Sulang, Rijono Pratikto, S. Anantaguna, S. Wisnu Kuntjahjo, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi, Zubir A.A, Hadi S, dan lain-lain.
Kini nasib mereka memang sudah terlupakan karena tulisan mereka pun sudah sulit dibaca masyarakat umum setelah penerbitan kalangan Lekra dinyatakan terlarang pada akhir tahun 1965 akibat tragedi politik 30 September 1965.

C.    Majalah Kisah
Majalah Kisah menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama kali mengutamakan cerita pendek (cerpen). Dewan redaksinya adalah Sudjati S.A., H.B. Jassin, M. Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat bertahan hampir lima tahun, mulai Juli 1953 hingga Maret 1957.
Semangatnya adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat sehingga pengarang pun terdorong untuk mencipta karangan-karangan yang bermutu dengan penuh tanggung jawab. Kalaupun majalah itu hanya dapat bertahan lima tahun, penyebabnya antara lain menjamurnya bacaan hiburan yang cenderung cabul dengan akibat kisah tidak dapat bersaing secara komersial.



D.    Manifes Kebudayaan
Berbeda dengan Lekra, Manifes Kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan, melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Kemunculannya tidak terkait dengan partai politik atau ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra.
Prosesnya terkait dengan perkembangan politik yang berawal dari munculnya Konsepsi Presiden pada 21 Februari 1957 yang intinya menolak demokrasi liberal dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin, membentuk kabinet gotong royong,dan membentuk Dewan Nasional sebagai lembaga penasihat. Pada tanggal 4 Maret 1957 dirumuskan dukungan seniman terhadap Konsepsi Presiden dan pada 6 Maret 1957 sekitar 40 orang seniman Jakarta menghadap Presiden Soekarno untuk menyatakan dukungan itu. Dalam rombongan tersebut tercatat Ajib Rosidi, Gayus Slagian, Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, M.R. Dayoh, sedangkan pimpinannya adalah Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, dan Kotot Sukardi.
Pada 5 Juli 1959 diumumkan Dekrit Presiden yang menegaskan pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, kemudian berkembang menjadi Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 yang menetapkan Manipol sebagai Garis Besar Haluan Negara dengan lima masalah pokok, yaitu UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia yang kemudian popular dengan singkatan Manipol-Usdek.
Polemik yang kemudian berkembang menjadi teror budaya itu mendorong para seniman budayawan yang berbeda pandangan dengan Lekra merapatkan barisan dalam majalah sastra pimpinan H.B. Jassin yang mulai terbit pada Mei 1961. Sejumlah nama baru yang muncul dalam sastra adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman(Soek Hok Djin), D.A. Peransi, Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Salim Said, Bur Rasuanto, Ras Siragar, Gerson Pyk, dan lain-lain. Mereka mencoba bertahan pada konsep otonomi seni dalam kehidupan, walaupun harus berhadapan dengan ancaman dan agresivitas kelompok Lekra.
Puncak pertahanan konsep itu adalah deklarasi Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 yang ditandatangani oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok, Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Taufiq A.G. Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar, dan Boen S. Oemarjati. Berikut teks Manifes Kebudayaan.

MANIFES KEBUDAYAAN
Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengambangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Dalam waktu singkat Manifes Kebudayaan memperoleh sambutan hangat dan dukungan dari berbagai pihak yang merasa terancam dan terdesak oleh agresivitas kelompok Lekra. Akan tetapi, di sisi lain justru merupakan alasan yang kuat bagi Lekra untuk menghancurkan siapa pun yang berseberangan paham. Manifes Kebudayaan dituduh anti-Manipol dan kontra-revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Seniman dan pekerja kebudayaan yang tergabung dalam organisasi LKN, Lekra, Lesbumi, OKRA, dan Actor’s Studio Medan, telah mengadakan rapat pada 30 Januari 1964 di Balai Wartawan Medan untuk membicarakan apa yang disebuut “Manifes Kebudayaan”, dan mengganyang Malaysia. Dalam rapat itu mereka telah menyatakan sikap tegas untuk mengganyang apa yang disebut “ Manifes Kebudayaan” dan mengganyang Malaysia, karena bukan saja berwatak kontra revolusi, malah Manifes tersebut berbahaya untuk pertumbuhan kebudayaan revolusioner di tanah air Indonesia (Prahara Budaya, 1995: 299)
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PERHIMI) dalam pernyataannya telah menyambut dengan gembira larangan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno terhadap apa yang dinamakan Manikebu.
PERHIMI yakin, bahwa sosial kontrol yang telah dijalankan dengan sukses oleh organisasi-organisasi mahasiswa progresif senantiasa akan memperoleh penilaian yang positif dari masyarakat. (Prahara Budaya, 1995: 358)
Sementara itu, tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Jakarta pada Maret 1964. Namun, organisasi tersebut tidak sempat berkegiatan, karena pada 8 Mei 1964 Manifes Kebudayaan dilarang oleh Presiden Soekarno. Dapat dibayangkan bahwa pelarangan itu berasal dari tuntutan kelompok Lekra yang secara politis makin kuat kedudukannya.
Pelarangan Manifes Kebudayaan membuat para pendukungnya berantakan dan tertutuplah hampir segala kegiatannya, bahkan tidak sedikit yang dipecat dari jabatan dinasnya. H.B. Jassin terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Untunglah H.B. Jassin telah berhasil merintis pengkajian sastra Indonesia modern yang menghasilkan sarjana-sarjana sastra generasi pertama, seperti Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, S. Effendi, Fachruddin Ambo Enre, J.U. Nasution, dan Bahrum Rangkuti. Dari skripsi merekalah kemudian terbit buku-buku telaah dan kritik sastra Indonesia atas usaha penerbit Gunung Agung Jakarta, antara lain sebagai berikut:
1.      Asmara Hadi Penyair Api Nasionalisme oleh J.U. Nasution (1963),
2.      Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S. Omarjati (1967),
3.      Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis oleh M.S. Hutagalung (1963),
4.      Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Duapuluhan oleh Fachruddin Ambo Enre (1963),
5.      Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya oleh B. Rangkuti (1963),
6.      Roman Atheis Achdiat K. muhardja oleh Boen S. Oemarjati 91963),
7.      Sanusi Pane oleh J.U. Nasution (1963),
8.      Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek oleh J.U. Nasution (1963), dan
9.      Tanggapan Dunia Asrul Sani oleh M.S. Hutangalung (1967).
Ternyata keberhasilan itu tidak juga menyurutkan ambisi orang-orang Lekra untuk menekan siapa pun yang berlawanan atau berbeda dengan idiologinya. Keadaan yang menyedihkan itu mendorong H.B Jassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo Soekito meminta maaf dan mengharapkan petunjuk Presiden. Namun, hal itu tidak sedikit pun mengubah keadaan, bahkan menjadi semakin buruk. Ada tuntutan kepada pemerintah agar penerbitan yang menyuarakan Manifes Kebudayaan seperti majalah Sastra dan majalah Indonesia dilarang terbit. Pada kenyataannya tidak lama kemudian, majalah Sastra berhenti dengan sendirinya karena situasi politik memang tidak menguntungkan. Di sisi lain makin maraklah hujatan dan serangan terhadap Manifes Kebudayaan yang oleh kelompok Lekra disebut dengan Menikebu, sebuah akronim yang membikin kecut para pendukungnya.
Pelarangan Manifes Kebbudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan Manifes, terlepas apa pun isi dan kapan penulisannya.
Adapun sejumlah buku yang terkenal pada masa itu tercatat:
1.      Balada Orang Tercinta (kumpulan sajak W.S. Rendra),
2.      Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen Ajip Rosidi),
3.      Domba-Domba Revolusi (drama B. Soelarto),
4.      Dua Dunia (kumpulan cerpen Nh. Dini),
5.      Hati yang Damai (novelet Nh. Dini),
6.      Hujan Kepagian (kumpulan cerpen Nugroho Notosusanto),
7.      Ia Sudah Bertualang (kumpulan cerpen Rendra),
8.      Iblis (drama Mohammad Diponegoro),
9.      Kejantanan di Sumbing (kumpulan cerpen Subagio Sastrowardoyo),
10.  Mereka Akan Bangkit (kumpulan cerpen Bur Rasuanto),
11.  Orang Buangan (roman Hariyadi S. Hartowardoyo),
12.  Pagar Kawat Berduri (roman Trisnoyuwono),
13.  Perjalanan ke Akherat (novelet Djamil Suherman),
14.  Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan cerpen Titie Said),
15.  Priangan si Jelita (kumpulan sajak, Ramadhan KH.),
16.  Pulang (novel Toha Mohtar),
17.  Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen A.A. Nafis0,
18.  Royan Revolusi (roman, Ramadhan K.H.),
19.  Tidak Menyerah (novel Motinggo Busye), dan
20.  Umi Kalsum (kumpulan cerpan Djamil Suherman).
Hal itu membuktikan semangat kepengarangan atau kesenimanan tidak selalu berkaitan dengan fasilitas atau situasi yang baik-baik saja. Titik balik terjadi setelah meletus peristiwa tragedi 30 September 1965.
Dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Arip, 1969: 236-238) tercatat 60 judul buku yang dilarang atau dibekukan, termasuk karya Pramoedya Ananta Toer di awal kemerdekaan atau sebelum menjadi tokoh Lekra,yaitu Perburuan, Subuh, Percikan Revolusi, Keluarga Garilya, Mereka yang Dilumpuhkan, dan Bukan Pasar Malam. Pelarangan buku itu dapat saja diperdebatkat panjang lebar oleh generasi sekarang, tetapi pada waktu itu merupakan langkah yang strategis bagi pemerintah yang harus bertindak tegas. Terlepas dari dampak yang timbul di bidang ilmu sastra, pelarangan buku-buku pengarang Lekra harus dipahami secara kontekstual. Yang jelas tragedi politik September 1965 telah mengakhiri maraknya slogan “politik adalah panglima” dan realisme sosialis.



E.     Ciri-Ciri Karya Sastra Angkatan 45
a) Terbuka
b) Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
c) Corak isi lebih realis, naturalis
d) Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
e) Penghematan kata dalam karya
f) Ekspresif
g) Sinisme dan sarkasme
h) Karangan prosa berkurang, puisi berkembang

F.     Salah Satu Contoh Karya Sastra Pada Masa Pergolakan Sastra Indonesia tahun 1945-1965
Puisi yang berjudul “AKU” karya Chairil Anwal
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi






BAB II
PENUTUP

A.    Kesimpulan
              Berdasarkan uraian tersebut, kami menyimpulkan bahwa pada tahun 1945-1965 disebut sebagai masa pergolakan karena pada masa itu ditandai dengan munculnya berbagai pandangan atau teori kritik sastra oleh sejumlah tokoh. Di pihak lain, pada masa itu pun berkembang pandangan kritik sastra yang berorientasi realisme sosialis di kalangan Lekra, sebuah organisasi yang didirikan oleh pemimpin PKI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama 20 tahun masa pergolakan itu telah berkembang empat aliran teori kritik sastra Indonesia.

B.     Saran
                                      Penjabaran makalah mengenai Masa Pergolakan Sastra Indonesia tahun 1945-               1965, diharapkan kita dapat mengenal atau mengetahui perkembangan sastra Indonesia, dan memiliki pemahaman yang memadai akan tokoh sastra Indonesia pada masa itu, serta memiliki keluasan wawasan dunia sastra.











DAFTAR PUSTAKA
K. S, Yudiono, 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

K. S, Yudiono, 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.
Mujiyanto Yant dan Amir Fuadi, 2007. Sejarah Sastra Indonesia. Surakarta: LPP UNS.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar