BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah diketahui umum bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
merupakan peristiwa bersejarah yang amat penting bagi bangsa Indonesia karena
dengan momentum itulah terbentuk atau berdiri Negara Kesatuan Repoblik Indonesia
dengan tujuan mulia seperti tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945.
Tentu saja pada waktu itu terjadi perubahan besar-besaran atau revolusi di
berbagai bidang kehidupan, terutama politik, sosial, dan budaya. Sejumlah
peristiwa penting pada tahun-tahun awal kemerdekaan dapat disimak dalam
berbagai buku sejarah sehingga tidak tepatlah disajikan dalam makalah ini.
Penanaman
angkatan ’45 dikaitkan dengan perjuangan revolusi fisik karena disadari eratnya
hubungan antara sastra dengan nilai-nilai patriotisme. Sastra angkatan ini
berderap seirama dengan liku-derunya perjuangan merebut kemerdekaan,
mempertahankan dan melestarikannya.
Melihat
situasinya yang penuh gerak cepat, karya sastra masa itu pun mengekspresikan
revolusi tersebut. Ketika itu, tidak lagi ditemukan penggunaan bahasa dengan
irama yang lamban, penggunaan kata-kata yang serba muluk mendayu-dayu. Tidak
demikian. Revolusi berbahasa pun ikut berbicara. Kata-kata dimanfaatkan
seefektif mungkin, singkat, padat, tepat, jelas, mementingkan isi, berangkat
dari realitas. Para sastrawan angkatan masa itu banyak yang masih aktif
mencipta pada masa-masa sesudahnya. Ada pula yang telah merintis kesastrawan
mereka sejak zaman jepang.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa
pada tahun 1945-1965 disebut sebagai masa pergolakan?
2. Siapa
saja sastrawan pada masa pergolakan??
3. Apa
cirri-ciri sastra angkatan 45?
BAB II
PEMBAHASAN
MASA
PERGOLAKAN SASTRA INDONESIA TAHUN 1945-1956
A. Surat Kepercayaan Gelanggang
Surat
Kepercayaan Gelanggang merupakan pernyataan sikap seniman budayawan yang
bergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka dengan motor Chairil Anwar,Asrul
Sani,dan Rivai Apin. Kelompok ini kemudian disebut Angkatan 45 oleh Rosihan
Anwar, tetapi tidak dengan sendirinya disepakati oleh banyak orang. Ada yang
berkeberatan dengan alasan nama Angkatan 45 seolah-olah menumpang pada
kehebatan para pejuang bersenjata yang heroik, sedangkan yang mendukung
berpendapat bahwa berjuang di bidang kebudayaan pun tidak kalah pentingnya dari
pada berjuang dengan senjata. Adapun teks Surat Kepercayaan Gelanggang
selengkapnya sebagai berikut.
SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG
Kami
adalah waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan dunia dan kebudayaan
ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak
dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana
dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan
kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang
hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh
apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati kami. Kami tidak akan memberikan
suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalu kami berbicara tentang
kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap kebudayaan lama sampai
berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan
kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan
berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan
dari segala sudut dunia, dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk
suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan
menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi
bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai using yang harus
dihancurkan. Demikianlah, kami berpendapat bahwa revolusi di tanah air kami
sendiri belum selesai.
Dalam
penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu ialah
manusia. Dalam cara mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat
sendiri.
Penghargaan
kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang
mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.
Jakarta, 18 Februari 1950
Nama-nama
lain yang ditawarkan berbagai pihak adalah Angkatan Kemerdekaan, Angkatan
Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan pembebasan,
dan Generasi Gelanggang. Namun, nama yang terlanjur populer adalah Angkatan 45.
Tujuan
perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka adalah mempertanggungjawabkan penjadian
bangsa, mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan
pikiran dan roh, serta memasukkan cita-cita dan dasar itu ke dalam segala
kegiatan.
Boleh
jadi benar pendapat Maman S. Mahayana dalam artikel “Di Balik Surat Kepercayaan
Gelanggang” (Mahayana, 2005: 452-456) bahwa publikasi Surat Kepercayaan
Gelanggang itu dimaksudkan sebagai reaksi terhadap publikasi Mukadimah Lekra.
Kemungkinan itu dapat dipahami berdasarkan perbedaan ideologi atau dasar
pijakannya. Surat Kepercayaan Gelanggang berpijak pada humanisme universal atau
kemanusiaan sejagat, sedangkan Lekra secara tegas hendak melaksanakan realisme
sosialis yang bersumber pada komunisme.
Selayang
pandang tampaklah gejala tersebut merupakan awal pergolakan budaya yang terjadi
pada masyarakat sastra Indonesia karena berkembangnya dinamika politik di
tengah kehidupan sosial ekonomi yang masih serba pahit dan semrawut akibat
pendudukan Jepang dan berlanjut dengan perang mempertahankan kemerdekaan.
B. Lembaga Kebudayaan Rakyat
Semangat
membangun kebudayaan Indonesia yang tertuang dalam Surat Kepercayaan Gelanggang
ternyata terdesak oleh perubahan yang deras di bidang sosial, budaya, dan
politik. Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada akhir tahun 1949 tidak
dengan sendirinya menyelesaikan berbagai krisis kehidupan bangsa yang memang
sedang bergolak. Penerapan demokrasi liberal dengan sistem kabinet parlementer
ternyata tidak membuahkan hasil yang menggembirakan karena yang terjadi adalah
krisis kabinet dengan pergantian perdana mentri yang jarak waktunya
pendek-pendek sehingga tidak produktif di bidang pemerintahan.
Krisis
itu kemudian diakhiri dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan prinsip kembali
ke UUD 1945. Sementara itu, di bidang keamanan terjadi krisis kepercayaan sehingga
pecah pembrontakan bersenjata di beberapa daerah.
Peristiwa
penting yang besar pengaruhnya terhadap dinamika kehidupan sastra Indonesia
adalah berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 di
tangan tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), yaitu D.N. Aidit,Njoto, M.S.
Ashar, dan A.S. Dharta. Lekra sendiri baru pada tahun 1961 dinyatakan sebagai
organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima” dan
membela realisme sosialis atau seni untuk rakyat.
Sebagai
organ PKI, tentu saja Lekra memperjuangkan komunisme yang berasal dari
Marxisme-Leninisme yang telah lama berkembang di Rusia dan Cina dengan semboyan
kemakmuran atau kesejahteraan rakyat berdasarkan penguasaan alat produksi di
tangan kaum buruh dan petani sebagai kelompok besar yang tertindas oleh
feodalisme dan kapitalisme. Dengan semboyan itulah komunisme hendak membela
kepentingan kaum buruh dan petani atau kaum proletar yang tidak berdaya. Jika
ideologi tersebut berkuasa maka sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya
akan dengan sendirinya dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu, target politiknya adalah menguasai pemerintahan agar kemudian dapat
mewujudkan komunisme.
Dari
tulisan sejumlah tokoh Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Bakri Siregar
yang terdokumentasikan dalam Prahara
Budaya (Moeljanto, 1995: 67-99), dapat dipahami sekilas percikan pemikiran
mereka tentang realism sosialis, dan lebih rinci lagi dapat disimak dalam buku
Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis
dan Sastra Indonesia (2003a).
Lekra
didirikan lima tahun setelah pecah revolusi Agustus, disaat revolusi tertahan
oleh rintangan hebat berupa persetujuan Konferensi Meja Bundar. Pada saat itu
orang-orang kebudayaan yang semula tampak satu kepalan tangan dan tgak di pihak
revolusi menjadi tergolong-golong. Mereka yang tidak setia kepada Republik
lantas menyebrang, yang lemah menjadi ragu dan putus asa, sadangkan yang taat
dan teguh meneruskan pekerjaannya berkayakinan bahwa kekalahan revolusi
hanyalah sementara. Lekra didirikan untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut
karena menyadari tugas revolusi bukan hanya milik kaum politisi, tetapi juga
tugas pekerja kebudayaan. Jadi, Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang
taat dan teguh mendukung revolusi. Kehadirannya merupakan reaksi terhadap
realitas politik kultural yang mencemaskan dan mengusahakan pengucapan
kebudayaan, khususnya sastra, berdasarkan realitas yang sedang berkembang dan
harus dipertanggungjawabkan secara politik.
Pembentukan
semangat yang revolusioner itu dilaksanakan dengan perumusan slogan-slogan
sebagai penguat kesadaran politik dan sekaligus pegangan taktis. Slogan
“politik adalah panglima” diperkenalkan ke kalangan Lekra karena merupakan
semboyan pegangan. Jadi, sebelum penggarapan seni harus ada pengkajian lebih
dahulu dari jurusan politik.
Dari
cuplikan itu tampaklah Lekra melaksanakan ideologi seni untuk rakyat. Akan
tetapi, konotasi rakyat itu terbatas pada konsep ideologi mereka sendiri, bukan
rakyat yang seluas-luasnya. Dengan demikian, jelaslah Lekra memang tidak
terpisahkan dari PKI. Gerakan dan strategipun tidak berbeda dengan PKI yang
menciptakan konflik dimana-mana sambil memobilisasi berbagai kelompok yang
disebutnya sebagai kekuatan progresif revolusioner. Lekra menggalang kekuatan
bersama serikat buruh, petani, organisasi pemuda, mahasiswa, sarjana, dan
lain-lain secara demonstratif untuk melemahkan kekuatan lawan politiknya.
Mereka pun secara demonstratif
menerbitkan buku-buku sastra seperti kumpulan sajak, cerpen, dan drama
sehingga memikat perhatian banyak pengarang. Cara lain yang dilakukan Lekra
adalah menghancurkan kredibilitas tokoh-tokoh yang berbeda pandangan atau
berseberangan politiknya. Sementara itu, sejumlah pengarang kemudian dikenal
sebagai orang-orang Lekra adalah A. Kohar Ibrahim, Agam Wispi, Amarzan Ismail
Hamid, B.A. Simanjuntak, Kusni Sulang, Rijono Pratikto, S. Anantaguna, S. Wisnu
Kuntjahjo, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi, Zubir A.A, Hadi S, dan lain-lain.
Kini
nasib mereka memang sudah terlupakan karena tulisan mereka pun sudah sulit
dibaca masyarakat umum setelah penerbitan kalangan Lekra dinyatakan terlarang
pada akhir tahun 1965 akibat tragedi politik 30 September 1965.
C. Majalah Kisah
Majalah
Kisah menjadi penting dalam sejarah
sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama kali mengutamakan
cerita pendek (cerpen). Dewan redaksinya adalah Sudjati S.A., H.B. Jassin, M.
Balfas, Idrus, dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat bertahan hampir lima
tahun, mulai Juli 1953 hingga Maret 1957.
Semangatnya
adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat sehingga pengarang pun
terdorong untuk mencipta karangan-karangan yang bermutu dengan penuh tanggung
jawab. Kalaupun majalah itu hanya dapat bertahan lima tahun, penyebabnya antara
lain menjamurnya bacaan hiburan yang cenderung cabul dengan akibat kisah tidak dapat bersaing secara
komersial.
D. Manifes Kebudayaan
Berbeda
dengan Lekra, Manifes Kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan,
melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan seperti Surat
Kepercayaan Gelanggang. Kemunculannya tidak terkait dengan partai politik atau
ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap teror budaya yang pada
waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra.
Prosesnya
terkait dengan perkembangan politik yang berawal dari munculnya Konsepsi
Presiden pada 21 Februari 1957 yang intinya menolak demokrasi liberal dan
menggantinya dengan demokrasi terpimpin, membentuk kabinet gotong royong,dan
membentuk Dewan Nasional sebagai lembaga penasihat. Pada tanggal 4 Maret 1957
dirumuskan dukungan seniman terhadap Konsepsi Presiden dan pada 6 Maret 1957
sekitar 40 orang seniman Jakarta menghadap Presiden Soekarno untuk menyatakan
dukungan itu. Dalam rombongan tersebut tercatat Ajib Rosidi, Gayus Slagian,
Utuy T. Sontani, Dodong Djiwapradja, M.R. Dayoh, sedangkan pimpinannya adalah
Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, dan Kotot Sukardi.
Pada
5 Juli 1959 diumumkan Dekrit Presiden yang menegaskan pembubaran Konstituante
dan kembali ke UUD 1945, kemudian berkembang menjadi Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol) dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 yang menetapkan
Manipol sebagai Garis Besar Haluan Negara dengan lima masalah pokok, yaitu UUD
1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan
kepribadian Indonesia yang kemudian popular dengan singkatan Manipol-Usdek.
Polemik
yang kemudian berkembang menjadi teror budaya itu mendorong para seniman
budayawan yang berbeda pandangan dengan Lekra merapatkan barisan dalam majalah sastra pimpinan H.B. Jassin yang mulai
terbit pada Mei 1961. Sejumlah nama baru yang muncul dalam sastra adalah
Goenawan Mohamad, Arief Budiman(Soek Hok Djin), D.A. Peransi, Boen S.
Oemarjati, M.S. Hutagalung, Salim Said, Bur Rasuanto, Ras Siragar, Gerson Pyk,
dan lain-lain. Mereka mencoba bertahan pada konsep otonomi seni dalam
kehidupan, walaupun harus berhadapan dengan ancaman dan agresivitas kelompok
Lekra.
Puncak
pertahanan konsep itu adalah deklarasi Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963
yang ditandatangani oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini,
Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok,
Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri
Tanissan, Binsar Sitompul, Taufiq A.G. Ismail, Gerson Poyk, M. Saribi,
Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar, dan Boen S. Oemarjati. Berikut
teks Manifes Kebudayaan.
MANIFES KEBUDAYAAN
Kami
para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes
Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik Kebudayaan
Nasional kami.
Bagi
kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.
Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan
yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai
dengan kodratnya.
Dalam
melaksanakan Kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang
sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengambangkan
martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat
bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Dalam
waktu singkat Manifes Kebudayaan memperoleh sambutan hangat dan dukungan dari
berbagai pihak yang merasa terancam dan terdesak oleh agresivitas kelompok
Lekra. Akan tetapi, di sisi lain justru merupakan alasan yang kuat bagi Lekra
untuk menghancurkan siapa pun yang berseberangan paham. Manifes Kebudayaan
dituduh anti-Manipol dan kontra-revolusioner sehingga harus dihapuskan dari
muka bumi Indonesia.
Seniman
dan pekerja kebudayaan yang tergabung dalam organisasi LKN, Lekra, Lesbumi,
OKRA, dan Actor’s Studio Medan, telah mengadakan rapat pada 30 Januari 1964 di
Balai Wartawan Medan untuk membicarakan apa yang disebuut “Manifes Kebudayaan”,
dan mengganyang Malaysia. Dalam rapat itu mereka telah menyatakan sikap tegas
untuk mengganyang apa yang disebut “ Manifes Kebudayaan” dan mengganyang
Malaysia, karena bukan saja berwatak kontra revolusi, malah Manifes tersebut
berbahaya untuk pertumbuhan kebudayaan revolusioner di tanah air Indonesia (Prahara Budaya, 1995: 299)
Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia (PERHIMI) dalam pernyataannya telah menyambut dengan
gembira larangan yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno terhadap apa yang
dinamakan Manikebu.
PERHIMI
yakin, bahwa sosial kontrol yang telah dijalankan dengan sukses oleh
organisasi-organisasi mahasiswa progresif senantiasa akan memperoleh penilaian
yang positif dari masyarakat. (Prahara
Budaya, 1995: 358)
Sementara
itu, tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang
se-Indonesia (KKPI) di Jakarta pada Maret 1964. Namun, organisasi tersebut
tidak sempat berkegiatan, karena pada 8 Mei 1964 Manifes Kebudayaan dilarang
oleh Presiden Soekarno. Dapat dibayangkan bahwa pelarangan itu berasal dari
tuntutan kelompok Lekra yang secara politis makin kuat kedudukannya.
Pelarangan
Manifes Kebudayaan membuat para pendukungnya berantakan dan tertutuplah hampir
segala kegiatannya, bahkan tidak sedikit yang dipecat dari jabatan dinasnya.
H.B. Jassin terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dosen luar biasa
di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Untunglah H.B. Jassin telah berhasil
merintis pengkajian sastra Indonesia modern yang menghasilkan sarjana-sarjana
sastra generasi pertama, seperti Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, S.
Effendi, Fachruddin Ambo Enre, J.U. Nasution, dan Bahrum Rangkuti. Dari skripsi
merekalah kemudian terbit buku-buku telaah dan kritik sastra Indonesia atas
usaha penerbit Gunung Agung Jakarta, antara lain sebagai berikut:
1. Asmara Hadi Penyair Api
Nasionalisme oleh J.U. Nasution (1963),
2. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia
oleh
Boen S. Omarjati (1967),
3. Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis oleh
M.S. Hutagalung (1963),
4. Perkembangan Puisi Indonesia dalam
Masa Duapuluhan oleh Fachruddin Ambo Enre (1963),
5. Pramoedya Ananta Toer dan Karya
Seninya oleh B. Rangkuti (1963),
6. Roman Atheis Achdiat K. muhardja oleh
Boen S. Oemarjati 91963),
7. Sanusi Pane oleh
J.U. Nasution (1963),
8. Sitor Situmorang sebagai Penyair
dan Pengarang Cerita Pendek oleh J.U. Nasution
(1963), dan
9. Tanggapan Dunia Asrul Sani oleh
M.S. Hutangalung (1967).
Ternyata
keberhasilan itu tidak juga menyurutkan ambisi orang-orang Lekra untuk menekan
siapa pun yang berlawanan atau berbeda dengan idiologinya. Keadaan yang
menyedihkan itu mendorong H.B Jassin, Trisno Sumardjo, dan Wiratmo Soekito
meminta maaf dan mengharapkan petunjuk Presiden. Namun, hal itu tidak sedikit
pun mengubah keadaan, bahkan menjadi semakin buruk. Ada tuntutan kepada
pemerintah agar penerbitan yang menyuarakan Manifes Kebudayaan seperti majalah Sastra dan majalah Indonesia dilarang terbit. Pada kenyataannya tidak lama kemudian,
majalah Sastra berhenti dengan
sendirinya karena situasi politik memang tidak menguntungkan. Di sisi lain
makin maraklah hujatan dan serangan terhadap Manifes Kebudayaan yang oleh
kelompok Lekra disebut dengan Menikebu, sebuah akronim yang membikin kecut para
pendukungnya.
Pelarangan
Manifes Kebbudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang
Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada
di barisan Manifes, terlepas apa pun isi dan kapan penulisannya.
Adapun
sejumlah buku yang terkenal pada masa itu tercatat:
1. Balada Orang Tercinta (kumpulan
sajak W.S. Rendra),
2. Di Tengah Keluarga (kumpulan
cerpen Ajip Rosidi),
3. Domba-Domba Revolusi (drama
B. Soelarto),
4. Dua Dunia (kumpulan
cerpen Nh. Dini),
5. Hati yang Damai (novelet
Nh. Dini),
6.
Hujan
Kepagian (kumpulan cerpen Nugroho Notosusanto),
7.
Ia
Sudah Bertualang (kumpulan cerpen Rendra),
8.
Iblis
(drama
Mohammad Diponegoro),
9.
Kejantanan
di Sumbing (kumpulan cerpen Subagio Sastrowardoyo),
10. Mereka Akan Bangkit (kumpulan
cerpen Bur Rasuanto),
11. Orang Buangan (roman
Hariyadi S. Hartowardoyo),
12. Pagar Kawat Berduri (roman
Trisnoyuwono),
13. Perjalanan ke Akherat (novelet
Djamil Suherman),
14. Perjuangan dan Hati Perempuan (kumpulan
cerpen Titie Said),
15. Priangan si Jelita (kumpulan
sajak, Ramadhan KH.),
16. Pulang (novel
Toha Mohtar),
17. Robohnya Surau Kami (kumpulan
cerpen A.A. Nafis0,
18. Royan Revolusi (roman,
Ramadhan K.H.),
19. Tidak Menyerah (novel
Motinggo Busye), dan
20. Umi Kalsum (kumpulan
cerpan Djamil Suherman).
Hal
itu membuktikan semangat kepengarangan atau kesenimanan tidak selalu berkaitan
dengan fasilitas atau situasi yang baik-baik saja. Titik balik terjadi setelah
meletus peristiwa tragedi 30 September 1965.
Dalam
Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Arip,
1969: 236-238) tercatat 60 judul buku yang dilarang atau dibekukan, termasuk
karya Pramoedya Ananta Toer di awal kemerdekaan atau sebelum menjadi tokoh
Lekra,yaitu Perburuan, Subuh, Percikan
Revolusi, Keluarga Garilya, Mereka yang Dilumpuhkan, dan Bukan Pasar Malam. Pelarangan buku itu
dapat saja diperdebatkat panjang lebar oleh generasi sekarang, tetapi pada
waktu itu merupakan langkah yang strategis bagi pemerintah yang harus bertindak
tegas. Terlepas dari dampak yang timbul di bidang ilmu sastra, pelarangan
buku-buku pengarang Lekra harus dipahami secara kontekstual. Yang jelas tragedi
politik September 1965 telah mengakhiri maraknya slogan “politik adalah
panglima” dan realisme sosialis.
E. Ciri-Ciri Karya Sastra Angkatan 45
a) Terbuka
b)
Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
c) Corak
isi lebih realis, naturalis
d)
Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
e)
Penghematan kata dalam karya
f)
Ekspresif
g) Sinisme
dan sarkasme
h)
Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
F. Salah Satu Contoh Karya Sastra Pada
Masa Pergolakan Sastra Indonesia tahun 1945-1965
Puisi
yang berjudul “AKU” karya Chairil Anwal
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
BAB
II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tersebut, kami menyimpulkan bahwa pada tahun 1945-1965 disebut sebagai
masa pergolakan karena pada masa itu ditandai dengan munculnya berbagai
pandangan atau teori kritik sastra oleh sejumlah tokoh. Di pihak lain, pada
masa itu pun berkembang pandangan kritik sastra yang berorientasi realisme
sosialis di kalangan Lekra, sebuah organisasi yang didirikan oleh pemimpin PKI.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama 20 tahun masa pergolakan itu
telah berkembang empat aliran teori kritik sastra Indonesia.
B.
Saran
Penjabaran makalah mengenai Masa
Pergolakan Sastra Indonesia tahun 1945- 1965, diharapkan kita dapat
mengenal atau mengetahui perkembangan sastra Indonesia, dan memiliki pemahaman
yang memadai akan tokoh sastra Indonesia pada masa itu, serta memiliki keluasan
wawasan dunia sastra.
DAFTAR PUSTAKA
K. S, Yudiono, 2007. Pengantar
Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
K. S, Yudiono, 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta:
PT Grasindo.
Mujiyanto Yant dan Amir
Fuadi, 2007. Sejarah Sastra Indonesia. Surakarta:
LPP UNS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar